Jumat, 24 Juli 2015

Parameter Dasar Analisa Minyak dan Lemak

1)      Free Fatty Acid (FFA)
Free Fatty Acid (FFA)/ asam lemak jenuh merupakan produk yang dihasilkan ketika suatu trigliserida mengalami reaksi hidrolisis. Terjadinya reaksi hidrolisis dapat menyebabkan kerusakan pada minyak atau lemak, dikarenakan adanya reaksi hidrolisis menghasilkan asam lemak dan gliserol. Adanya senyawa asam lemak ini menyebabkan kestabilan dari minyak terganggu. Minyak merupakan senyawa non polar sedangkan asam lemak dan gliserol merupakan senyawa polar, sehingga apabila kandungan asam lemak dan gliserol dalam minyak berlebih akan menyebabkan minyak cepat rusak. Adapun reaksi hidrolisis yang terjadi adalah sebagai berikut :

Gambar 5. Reaksi hidrolisi minyak dan lemak

Selain itu asam lemak bebas dalam konsentrasi tinggi dapat mengakibatkan rendemen minyak sawit menjadi turun, sehingga kandungan FFA ini perlu dilakukan analisa dan pengontrolan dari awal agar kandungan dan kualitas dari minyak yang akan dihasilkan bagus. Selain itu, perlunya pengontrolan kadar FFA dalam minyak ini agar tidak mengganggu dalam proses pengolahan minyak sawit yaitu ketika pada CPO Ffa tinggi akan menyebabkan warna akan lebih sukar direduksi, dikarenakan bleching earth (BE) yang ditambahkan yang bersifat polar akan lebih senang berikatan dengan FFA sehingga membentuk  stubborn red yang lebih stabil sehingga warna susah direduksi, selain itu akan meyebabkan pemakaina BE yang sangat banyak.

Asam lemak bebas terbentuk karena proses oksidasi dan hidrolisis enzim selama pengolahan dan penyimpanan. Kemudian asam lemak bebas ini membentuk lagi asam lemak trans dan radikal bebas. Jika kita mengkonsumsi makanan yang mengandung kadar asam lemak bebas yang cukup tinggi maka akan menyebabkan naiknya kadar LDL dan turunnya kadar HDL darah, mengurangi kemampuan tubuh mengendalikan gula darah karena dapat mengurangi respon terhadap hormon insulin. Karena minyak sawit merupakan bahan makanan yang nantinya akan dikonsumsi, maka adanya kadar FFA didalamnya harus sekecil mungkin agar tidak membahayakan kesehatan para konsumen. Itulah mengapa adanya kadar FFA ini dalam minyak sawit dan turunannya perlu dilakukan analisis dan pengontrolan.

Analisis FFA ini dilakukan dengan metode titrasi asam basa antara minyak yang didalamnya terdapat asam lemak dengan NaOH. Minyak atau lemak dilarutkan terlebih dahulu ke isopropil alkohol yang bersifat semipolar seperti minyak. Kemudian dihasilkan sabun dan air. Sabun yang dihasilkan bersifat basa kuat sehingga digunakan indikator PP yang mempunyai range  pH 8,2-10.0. Indikator PP digunakan untuk menunjukkan titik akhir titrasi yakni berwarna merah muda permanen. PP bereaksi dengan basa membentuk ion fenolat yang berwarna merah muda dalam larutan. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut : 

R-COOH + NaOH   -->   R-COONa + H2O

2)                Moisture (kadar Air)
Moisture (kadar air) perlu dilakukan analisis dikarenakan adanya kandungan air ini nantinya akan mampu memicu pertumbuhan mikroba yang dapat memproduksi enzim serta adanya air akan bereaksi dengan trigliseridanya menghasilkan gliserol dan FFA. Sehingga apabila kadar airnya banyak maka secara otomatis akan menaikkan nilai FFA, yang nantinya senyawa tersebut mudah teroksidasi dan efek berkelanjutannya dapat menyebabkan ketengikan pada minyak. Pada pengolahan, semakin tinggi nilai moisture akan menyebabkan waktu reaksi menjadi lama, akibatnya hasil reaksi tidak maksimal. Sedangkan pada produk, jika kandungan moisture tinggi akan mempercepat laju hidrolisi yang artinya akan mempercepat naiknya FFA dan kerusakan kestabilan minyak.

Adapun kadar air dalam minyak dapat mengalami kenaikan, hal ini dikarenakan pada proses pengolahan dari raw material dan penyimpanan minyak sendiri yang terkena kelembapan udara, atau karena adanya reaksi oksidasi. Selama proses oksidasi terjadi, akan terbentuk gas CO2, senyawa volatil, dan sejumlah kecil molekul air.

Analisa moisture terbagi dalam 3 metode :
1.      Metode Hot plate
Pada analisa moisture dengan metode ini biasanya digunakan untuk analisa kadar moisture pada CPO di sampling tower. Analisa jenis ini merupakan jenis analisa yang kualitatif saja. Dimana tahapan yang dilakukan adalah sampel CPO dipanaskan diatas hot plate, apabila dalam minyak tersebut terkandung moisture yang banyak maka akan ada percikan air dan asap/uap diatas minyak. Apabila itu terjadi maka sampel dikategorikan outspec atau berkualitas jelek.

2.      Metode Oven
Pada analisa moisture dengan metode ini biasanya digunakan untuk analisa kadar moisture untuk berbagai sampel. Analisa jenis ini merupakan jenis analisa kualitatif dan kuantitatif, jadi berapa persen kandungan air di dalam minyak didapatkan dari hasil perhitungan. Tahapan yang dilakukan adalah minyak di oven pada suhu 130 oC selama 30 menit. Pada suhu tersebut air yang ada di dalam minyak diharapkan akan teruapkan. Kemudian baru ditimbang sehingga didapatkan persen kadar air di dalamnya.

3.      Metode Karl Fisher
    Pada analisa metode Karl Fisher ini digunakan untuk mengukur kadar air dalam sampel dengang menggunakan prinsip titrasi redoks. Titran yang akan digunakan adalah pereaksi Karl Fisher, yaitu campuran iodin sulfur dioksida dan piridin dalam metanol. Adapun reaksi yang terjadi adalah reduksi iodin oleh SO2 dengan adanya air.

I2 + SO2 + 3RN + CH3OH + H2O  -->  2RN-HI + RN-HSO4CH3

Adapun reaksi hidrolisis terbagi menjadi 2, yaitu :
                           i.            Hidrolisis Partially
Reaksi hidrolisis partially adalah reaksi hidrolisis dimana pemutusan ikatan oleh air hanya terjadi sebagian. Pada hidrolisis partially ini produk yang dihasilkan dimungkinkan :
a.       1 digliserida dan 2 asam lemak bebas
b.      1 monogliserida dan 2 asam lemak bebas
c.       1 digliserida, 1 monogliserida dan 2 asam lemak bebas.

                         ii.            Hidrolisis Fully
                  Reaksi hidrolisis fully adalah reaksi hidrolisis dimana pemutusan ikatan oleh air terjadi keseluruhan. Pada hidrolisis ini produk yang dihasilkan adalah gliserol dan air.

Adapun faktor yang mempercepat laju reaksi hidrolisis adalah :
Ø  Moisture content
Semakin banyak jumlah kandungan dari moisture maka laju hirolisis nya semakin cepat, dikarenakan air sebagi reaktan yang akan bereaksi dengan trigliseridanya
Ø  Suhu
Akibat adanya pemanasan akan menyebabkan energi kinetik dari atom atom akan naik dikarenakan semakin tidak teraturnya dari molekul-molekul di dalam sampel, akibat nya entropi meningkat, dan kemungkinan untuk terjadi tumbukan semakin besar sehingga reaksi hirolisis semakin cepat terjadi.

Ø  Katalis
              Adanya katalis ini akan  mempengaruhi laju reaksi, dimana katalis ini nanti akan menurunkan energi entalpi suatu reaksi menjadi lebih rendah, akibatnya reaksi dengan mudah dan cepat terjadi.

3)      Iodine Value (IV)
Nilai iodine value (IV) merupakan nilai yang menunjukkan tingkat ketidakjenuhan minyak/lemak. Adapunprinsip dalam analisa ini adalah asam lemak yang tidak jenuh dalam minyak dan lemak mampu menyerap sejumlah iod dan membentuk senyawa yang jenuh. Besarnya jumlah yang diserap menunjukkan banyaknya ikatan rangkap atau ikatan tidak jenuh. Bilangan iod dinyatakan sebagai jumlah gram iod yang diserap oleh 100 gram minyak atau lemak.
Semakin tinggi nilai IV menyatakan bahwa kandungan asam lemak tak jenuhnya banyak, sehingga ikatan rangkap (tak jenuh) yang ada dalam minyak banyak sehingga tampilan fisik nya semakin cair. Hal tersebut dikarenakan semakin ikatan rangkap dari suatu senyawa banyak maka massa jenisnya semakin mendekati satu, massa jenis mendekati satu maka minyak semakin cair. Selain itu, IV tinngi menunjukkan bahwa fraksi padat (stearin) sedikit, dan fraksi cair (olein) banyak.
Semakin rendah nilai IV menyatakan bahwa kandungan asam lemak tak jenuhnya sedikit, sehingga ikatan rangkap (tak jenuh) yang ada dalam minyak juga sedikit sehingga tampilan fisiknya semakin kental. Hal tersebut dikarenakan semakin ikatan rangkap dari suatu senyawa sedikit maka massa jenis dari senyawa tersebut semakin lebih dari satu yang artinya minyak semakin kental dan tampilannya semakin padat. Minyak dengan nilai IV kecil, maka minyak tersebut semakin padat sehingga semakin tahan panas. Akibatnya minyak dengan IV tinggi susah dicerna oleh tubuh, dikarenakan minyak tersebut mempunyai melting point diatas suhu tubuh. Minyak dengan IV rendah biasanya mempunyai meting point diatas 40 oC, sedangkan suhu tubuh sendiri berkisar 36-37 oC. Maka dari itu pada suhu tersebut minyak IV rendah belum meleleh secara sempurna.
Metode yang digunakan dalam analisa ini adalah dengan reagen Wijs. Adapun syarat yang penting dalam analisa ini adalah sampel yang akan dianalisa harus mempunyai ikatan rangkap. Ikatan rangkap yang ada nantinya akan bereaksi dengan iodin yang ada pada larutan Wijs sehingga ikatan rangkapnya putus. Akan tetapi, hal yang mendasar yang perlu diperhatikan dalam analisa ini, pastikan larutan Wijs yang ditambahkan dalam keadaan lebih sebesar 100 – 150 % dari yang diserap sampel. Hal tersebut bertujuan untuk memudahkan dalam menganalisa seberapa banyak ikatan rangkap yang ada dalam minyak/lemak tesebut. Larutan Wijs ini nantinya sebagian akan bereaksi dengan ikatan rangkapa pada minyak, dan larutan Wijs lebihnya akan bereaksi lanjut dengan air dan KI membentuk gas I2, adanya gas I2 ini nantinya akan dihitung sebagai larutan Wijs yang lebih/ yang tidak bereaksi dengan ikatan rangkap. Sehingga jika kita tau larutan Wijs awal dan sisa, maka jumlah larutan Wijs yang berekasi dengan ikatan rangkap akan didapatkan. Sedangkan untuk gas I2  yang terbentuk tersebut nantinya akan dititrasi dengan natrium tiosulfat. Maka volume tiosulfat yan dipakai diketahui yang mana sebanding dengan gas I2 yang dihasilkan.

Berdasarkan reaksi diatas diketahui bahwa untuk menentukan IV maka adanya gas I2 sangat berpengaruh dalam hasilnya, sehingga gas I2 harus dijaga untuk kemudian dilakukan titrasi dengan toisulfat. Jika gas I2 lepas ke udara maka volume hasil titrasi tidak tepat, hasil menjadi tidak valid dan akurat. Maka analisa nilai IV membutuhkan ketelitian dan keakuratan yang baik.

Tabel 1 Kisaran penimbangan sampel pada penentuan IV

Material
Massa sampel (g)
Range IV
CPO
0,16 – 0,22
50 – 55
CPS/RST/HST
0,24 – 0,30
30 – 35
CPS/RST/SST
0,22 – 0,28
>36
RBDOL
0,14 – 0,20
min 56
RBDPO
0,18 – 0,24
50 – 55
ROL Super
0,15 – 0,18
59 – 62
ROL Super
0,14 – 0,17
>62
4)      Peroxide Value (PV)
      Nilai PV merupakan nilai yang menyatakan tingkat kerusakan primer yang dialami oleh minyak/lemak yang mengalami oksidasi primer. Bilangan peroksida adalah nilai terpenting untuk menentukan derajat kerusakan pada minyak atau lemak. Asam lemak tidak jenuh dapat mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya sehingga membentuk peroksida. Adanya senyawa peroksida dalam sampel ini dapat ditentukan dengan metode iodometri. Sehingga nantinya nilai PV menunjukkan jumlah miligram ekuivalen peroksida per 1000 g sampel yang mengoksidasi KI pada kondisi proses. Semakin tinggi nilai PV suatu minyak akan menyebabkan semakin mudah tengik dan kestabilan minyaknya akan menurun dan semakin bersifat karsinogenik.
Pengujian dilakukan dengan cara mereduksi peroksida yang terdapat dalam sampel dengan penambahan I- , sehingga terbentuk I2 bebas yang selanjutnya ditetapkan kadarnya dengan Na2S2O3 berdasarkan prinsip titrasi redoks. Kadar I2 yang dibebaskan ini mengindikasikan banyaknya peroksida yang terdapat dalam sampel.
Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:

                    Reaksi Oksidasi
Oksidasi pada minyak/lemak sangat mudah terjadi yang disebabkan adanya kandungan ikatan tak jenuh pada lemek/minyak tersebut. Reaksi oksidasi pada minyak dapat terjadi selama proses produksi, penyimpanan, penggunaan, dan aplikasi. Oksidasi bisa diakibatkan oleh Thermal oxydation, enzymatic oxydation, dan radical oxydation.
Adapun faktor yang mempercepat terjadinya proses oksidasi antara lain :
§  Logam
Adanya logam Fe/Ni, dan beberapa jenis logam dalam minyak dapat menjadikan minyak mengalami oksidasi dikarenakan logam tersebut bertindak sebagai katalis yang akan mempengaruhi laju reaksi semakin cepat.
§  Suhu
Adanya peningkatan suhu atau pemanasan menyebabkan molekul yang ada di dalam minyak semakin tidak beraturan, yang akibatnya menjadikan nilai entropinya besar sehingga kemungkinan untuk bertumbukan dan bereaksi semakin cepat.
§  Oksigen
Adanya senyawa O2 yang masih mempunyai elektron bebas ini nantinya akan menyerang ikatan rangkap yang terkandung dalam minyak membetuk senyawa peroxide. Adanya reaksi dengan oksigen ini nantinya menjadikan minyak teroksidasi dan menjadi tidak stabil. Reaksi berkelanjutan dapat membentuk aldehid dan keton yang menyebabkan bau minyak tengik.
Adapun reaksi yang terjadi sebagai berikut :

5)      Anisidine Value (AnV)
Merupakan nilai yang menyatakan tingkat kerusakan sekunder yang dialami oleh minyak/lemak. Oksidasi sekunder ini merupakan oksidasi lanjutan dari oksidasi primer, dimana peroxide yang dihasilkan pada oksidasi primer kemudian mengalami oksidasi lanjut membentuk aldehid dan keton. Semakin tinggi nilai AnV akan menyebabkan minyak menjadi tidak stabil, dikarenakan semakin banyak senyawa aldehid dan keton yang bersifat polar. Selain itu nilai
adanya senyawa aldehid dan keton tersebut menyebabkan bau tengik pada minyak dan mempunyai toksisitas tinggi.
Pada dasarnya nilai AnV ini tergantung dari nilai PV. Semakin tinggi nilai PV suatu minyak maka kemampuan minyak tersebut untuk mengalami oksidasi sekunder semakin besar juga. Nilai PV semakin suhu tinggi maka akan semakin naik tajam diawal peningkatan suhu, tetapi ketika pada suhu tertentu maka akan mengalami titik puncak kemudian menggalami penurunan. Hal tersebut dikarenakan adanya oksidasi sekunder pada peroxide dari hasil oksidasi pertama yang akan membentuk aldehid dan keton yang akan terukur dalam nilai AnV. Nilai AnV pada awal peningkatan suhu akan mengalami kenaikan tetapi tidak signifikan karena peroxide yang dihasilkan jumlah sedikit, kemudian semakin lama maka jumlah peroxide meningkat sehingga jumlah nilai AnV pun meningkat secara tajam. Titik dimana senyawa ikatan rangkap sudah teroksidasi semua merupakan titik puncak PV, yang kemudian akan semakin menurun jumlahnya dikarenakan hasil PV mengalami oksidasi lanjut membentuk aldehid dan keton. Untuk lebih jelasnya ditunjukkan pada grafik pada Gambar 5.

6)      Lovibond Color
Komponen utama yang menyebabkan warna pada minyak goreng adalah pigmen karoten sebagai penyumbang warna kuning, antosianin sebagai penyumbang warna merah dan klorofil sebagai penyumbang warna hijau. Pengukuran warna pada Lovibond Tintometer ditentukan pada komposisi warna merah dan kuning. Nilai colour meningkat baik karena lama waktu pemanasan maupun karena kenaikan temperatur pemanasan. Pemanasan pada minyak goreng menyebabkan perubahan warna yang lebih gelap. Adanya kandungan logam memperparah warna minyak goreng. Logam selain memicu reaksi oksidasi lebih cepat juga mempunyai andil dalam penggelapan minyak goreng.
Metode yang digunakan dalam penetuan warna adalah dengan menggunakan pencocokan warna dari transmisi cahaya melalui cairan minyak atau lemak pada batasan tertentu ke warna dari sumber sinar yang sama, yang ditransmisikan melalui standar glass. Prinsip yang digunakan adalah warna dari sampel dibandingkan dengan suatu kombinasi warna merah, kuning, dan biru dari standar warna. Adapun aturan untuk penentuan warna pada minyak biasanya berdasarkan rumus 1:10 merah dan kuning untuk minyak turunan palmitat. Sedangkan untuk minyak turunan laurat tidak terpaku aturan tersebut.

7)      Impurities
Impurities merupakan semua komponen yang tidak larut dalam minyak, dapat berupa fibre, logam, batu, pasir, senyawa organik dan anorganik lainnya. Impurities perlu dilakukan analisa agar kemurnian dari minyak diketahui.    
Metode yang digunakan dalam pengukuran impurities adalah dengan melarutkan minyak ke dalam pelarut non polar, sehingga senyawa yang tidak dibutuhkan yang tidak larut dalam minyak (pengotor) dapat terpisahkan dengan adanya pelarut nonpolar. Kemudian dilakukan penyaringan dengan penyaringan Buchner (menggunakan vacum) agar dapat terpisahkan dengan baik. Kemudian berat pengotor dalam kertas saring ditimbang. Untuk mengetahui persen iinpurities maka berat pengotor dalam kertas saring dikurangi berat kertas saring dibagi dengan berat sampel dikalikan 100%. Minyak yang mempunyai kualitas baik adalah minyak dengan kandungan impurities sesedikit mungkin. Impurities banyak menandakan proses degumming dan bleaching tidak berjalan dengan baik, sehingga gum, logam dan pengotor lainnya masih berada dalam minyak.

8)      DOBI (Deotorization of Bleaching Indeks)
Merupakan nilai yang menyatakan tingkat kemudahan pemucatan dari CPO. Nilai ini merupakan nilai yang didapatkan dari nilai perbandingan antara jumlah karoten terhadap nilai kerusakannya (nilai oksidasi). Nilai DOBI secara signifikan mengindikasikan kesegaran dari CPO. Semakin tinggi nilai DOBi dari suatu CPO menyatakan bahwa jumlah senyawa karoten yang terkandung semakin besar dan jumlah senyawa yang sudah teroksidasi sedikit. Sehingga minyak akan semakin mudah untuk dilakukan reduksi warnanya. Pengukuran nilai Dobi ini dilakukan dengan menggunkan spektrofotometri pada panjang gelombang 446 nm dan 269 nm. Panjang gelombang 446 nm merupakan panjang gelombang dari senyawa karoten dimana senyawa ini akan menyerap sinar pada panjang gelombang tersebut. Sedangkan senyawa hasil oksidasi akan menyerap pada panjang elombang 269 nm.  
Adapun standar CPO yang baik adalah yang mempunyai nilai DOBI >2,6. Pada nilai tersebut kandungan senyawa kaaroten banyak dan kandungan senyawa hasil oksidasi sedikit, akibatnya untuk mereduksi warnanya sangat mudah, hanya dengan menambahakan sedikit bleaching earth. Nilai DOBI yang semakin kecil maka akan susah untuk mereduksi warnanya. Pada DOBi <2,0 akan sangat sulit dilakukan reduksi warna meskipun dilakukan penambahan BE dalam jumlah besar. Hal tersebut dikarenakan, bleaching earth yang harusnya digunakan untuk mengikat senyawa karoten, karena senyawa hasil oksidasi banyak maka bleaching earth akan lebih suka berikatan dengan senyawa hasil oksidasi  terlebih dahulu baru dengan senyawa karoten. Bleaching earth yang bersifat polar akan lebih suka dengan yang polar juga, dalam kasus ini senyawa hasil oksidasi (aldehid, keton dll) cenderung lebih polar dibandingkan dengan karoten. Akibatnya dengan jumlah penambahan BE yang sama maka untuk senyawa yang nilai DOBI rendah akan susah direduksi warnanya.
Adapun penyebab nilai DOBi CPO rendah antara lain :
ü  Minyak yang diolah tidak segar. Minyak yang tidak segar telah mengalami proses oksidasi, sehingga kandungan senyawa aldehid/keton di dalamnya semakin banyak. Atau minyak yang diolah merupakan campuran dari minyak segar dengan tidak segar.
ü  Pada proses pengolahan kelapa sawit, buah yang diolah masih muda. Buah yang masih muda ini kandungan karotennya relatif sedikit dan kandungan klorofilnya banyak. Akibatnya warna akan susah direduksi
Buah yang diolah terlalu matang. Buah yang terlalu matang biasanya memang menghasilkan karoten yang banyak, akan tetapi jumlah senyawa aldehid dan keton juga banyak karena enzim dalam buah bekerja terus membentuk senyawa ini.

9)      Karoten
Nilai karoten menyatakan jumlah karoten yang terkandung di dalam CPO. Nilai karoten penting untuk dilakukan analisis karena dengan mengetahui nilai ini maka kematangan buah pada saat diolah juga diketahui. Pada dasarnya nilai ini selaras dengan nilai DOBI. Semkin besar nilai karoten maka minyak semakin segar, yang artinya minyak belum mengalami oksidasi, kalaupun sudah teroksidasi dalam jumlah yang sedikit.
Adapun perhitungan dari nilai karoten ini sendiri adalah sebagai berikut :

                     Nilai 383 didapatkan dari BM senyawa karoten yang mempunyai berat molekul 383                             mol/g. Nilai karoten dari suatu CPO yang dikatakan baik adalah sebesar 450 min.
          
10)      Cloud Point (CP)
Nilai CP merupakan nilai yang menyatakan kemampuan minyak untuk tahan terhadap proses mengkabut (cloudy). Nilai CP perlu diketahui dengan tujuan untuk mengetahui suhu penyimpanan dari suatu minyak agar kualitas minyak tetap terjaga terutama pada suhu dingin seperti di supermarket. Adapun nilai CP ini dipengaruhi dari beberapa parameter, antara lain :
1.      Nilai IV
Semakin nilai IV pada suatu minyak tinggi maka fraksi cair dalam minyak (olein) semakin banyak sedangkan fraksi padat (stearin) sedikit. Akibatnya kemapuan minyak pada suhu tertentu untuk memadat (menggkabut) semakin susah dikarenakan fraksi padatnya sedikit. Sebaliknya, jika IV minyak rendah maka fraksi cair sedikit dan fraksi padat banyak, maka kemampuan minyak untuk memadat semakin cepat, suhu tidak terlalu rendah.
2.      Adanya moisture
Adanya moisture di dalam minyak juga akan berpengaruh terhadap nilai CP. Diketahui bahwa moisture(air) bersifat polar, sedangkan fraksi padat dalam minyak (stearin) lebih bersifat polar dari pada olein. Akibatnya apabila dalam minyak mengandung banyak moisture maka akan mempolarisasi fraksi padat untuk semakin memadat, sehingga nilai CP semakin rendah (menuju suhu 10 oC).

Pada saat pengujian nilai CP tahapan yang harus dilakukan adalah minyak dihomogenkan terlebih dahulu dengan dipanaskan pada suhu 100-110 oC selama 15 menit dengan tujuan agar minyak benar benar homogen, dan tidak ada kristal dalam minyak yang nantinya dapat mempolarisasi olein, akibatnya nilai CP tidak akurat. Selain itu, pemanasan pada suhu tersebut dengan tujuan untuk menguapkan kandungan moisture di dalam minyak.

11)      Melting Point (MP)
Melting point (titik lebur) merupakan nilai yang menyatakan ketahanan suatu padatan/kristal untuk mencair. Nilai MP ini berperan penting apabila suatu material minyak/lemak  akan di aplikasikan. Adapun yang mempengaruhi nilai dari MP ini sendiri adalah :
v  Nilai IV
Semakin tinggi nilai IV dari minyak maka kandungan fraksi cair daro minyak tersebut semakin banyak dan kandungan fraksi padatnya semakin sedikit. Akibatnya ketahanan dari minyak/lemak yang mempunyai IV tinggi terhadap perubahan bentuk ke fasa cair semakin rendah. Sehingga nilai MP untuk minyak Iv tinggi adalah kecil (menuju nol). Sedangkan untuk minyak/lemak yang ber Iv rendah, maka kandungan minyak tersebut lebih banyak fraksi padatnya. Akibatnya ketahanan untuk mengalami perubahan bentuk menuju cair semakin baik tinggi. Sehingga nilai MP untuk minyak yang mempunyai IV rendah adalah tinggi.
Titik lebur itu sendiri adalah suhu dimana sebuah kolom yang berisi minyak/lemak, dengan panang tertentu akan naik pada tabung kapiler terbuka dibawah kondisi tertentu. Adapun tahapn dalam analisa MP adalah 3 pipa kapiler dicelupkan ke dalam minyak dengan panjang sama. Kemudian dimasukka kulkas agar memadat, kemudian dimasukan kedalam penangas air yang dihangatkan dengan kecepatan berputar tertentu sampai titik lebur, yaitu pada saat minyak mulai bergerak ke atas. Yang perlu diperhatikan dalam analisa ini adalah, sebelum dilakukan analisa, pastikan sampel benar benar homogen, tidak ada krisata yang teah terbentuk dahulu di dalam sampel, tinggi dari sampel dalam pipa kapiler harus sama dan tidak boleh ada rongga udara didalam pipa kapiler. Selain itu, suhu air penangas pada saat mulai akan dipanaskan agar disesuaikan dengan suhu kulkas. Hal ini dimaksudkan agar, minyak dengan IV tinggi tidak melebur dahulu sebelum dilakukan analisa, karena faktor suhu lingkungan (25 oC).

12)      Solid Fat Content (SFC)
SFC merupakan nilai yang menunjukkan jumlah fraksi padat dalam sampel minyak/lemak pada suhu tertentu. Pentinganya nilai SFC ini adalah untuk mengetahui karakteristik dari suatu minyak/lemak agar mudah ketika diaplikasikan. Adapun hal yang didapatkan dari hasil analisa ini adalah, kita dapat mengetahui jumlah kandungan padat pada suatu lemak/dalam berbagai suhu.
Adapun tahapan dalam melakukan SFC ini adalah, minyak/lemak dipanaskan terlebih dahulu agar homogen. Kemudian dituang ke dalam pipa kecil dan di masukkan ke dalam waterbath 70-80 oC selama 30 menit dengan tujuan untuk menjamin bahwa semua kristal telah larut. Lalu dimasukkan ke dalam waterbath 0 oC selama 1,5 jam, untuk proses pembentukkan kristal kristal minyak. Waktu pada proses ini harus benar-benar diperhatikan karena pada proses ini pembentukkan kisi-kisi dari kristal, semakin cepat waktu ini maka akan berakibat kisi kristal yang harusnya terbentuk sempurna menjadi tidak terbentuk. Semakin lama waktu pada proses ini juga akan berpengaruh, karena kisi kristal yang terbentuk yang harusnya tidak memadat, akan memadat dan semakin mengikatkan kristal-kristal sehingga kristal akan semakin kuat. Akibatnya jika tidak dikontrol waktunya akan menggangu nilai SFC. Kemudian sampel dimasukkan ke dalam waterbath masing-masing mulai dari 10-40 oC, untuk melihat karakteristiknya dilakukan pembacaan dengan NMR. Pada proses ini yang dihitung adalah yang cair, bukan yang padat baru kemudian di konversi ke jumlah sampel yang padat. Hal tersebut karena prinsip dari insntrument NMR sendiri adalah mengukur nilai resonansi suatu senyawa, sehingga sampel padatan yang tidak bisa beresonansi tidak dapat diukur.
Pada dasarnya metode analisa SFC ada beberapa :
1.      Metode pararel yang meliputi
a.       Non tempering methode.
Metode ini yang paling umum digunakan karena lebih mudah dan relatif singkat waktunya karena tanpa adanya pemanasan pada 26 oC selama 40 jam.
b.      Tempering Methode
Metode ini jarang digunakan karena relatif lama waktu analisanya, menggunakan pemanasan selama pada 26 oC 40 jam.
2.      Metode Seri
Prosedur nya sama dengan non tempering, adapun hal yang membedakan adalah proses ini dilakukan secara estafet (seri) yaitu setelah sampel dari waterbath 10 oC diuji, kemudian sampel dipindahkan ke suhu 20 oC dilakukan pembacaan begitu seterusnya sampai suhu 40 oC.

Hasil data yang didapatkan nantinya akan memperlihatkan 3 hal :
1.      Melting properties
Berdasarkan data SFC maka akan dapat diprediksikan sampel akan mempunyai nilai MP pada suhu berapakah. Karena pada data tersebut ditunjukkan komposisi cairan dan padatan dari minyak pada tiap-tiap interval suhu. Sehingga untuk memperkirakan minyak mengalami peleburan semuanya akan diketahui.
2.      Hardness dan fiftness
Kekerasan dan kelunakan dari minyak/lemak akan diketahui. Ini nantinya akan berkaitan dengan aplikasi, terutama pada texturizing. Dapat diketahui bahwa minyak/lemak akan mengalami kekerasan maksimal pada suhu sekian dana akan mengalami pecairan total pada suhu sekian, sehingga akan memudahkan adalam aplikasi.

13)      Fatty Acid Compositian (FAC)
      FAC merupakan nilai yang menunjukkan kandungan asam lemak dan non asam lemak yang terkandung pada suatu minyak/lemak. Prisip yang digunakan dalam analisa ini dalah dengan GC (Gas Chromatography). Tahapn proses ini adalah sebelumnya dilakukan reaksi penyabunan terlebih dahulu dengan skala kecil. Hal tersebut bertujaun agar terbentuk asam asam lemak yang nantinya akan dilakukan analisa. Penambahan NaOH dalam metanol dilakukan pada proses ini agar reaksi penyabunan menghasilkan asam lemak dan air terjadi. Kemudian kandungan air diikat denagn Na2SO4 anhidrous. Sampel disaring dan dilakkan pengujian dengan GC. Dengan diketahui profile asam lemak dan juga kandungannya ini nantinya dapat memudahkan dalam aplikasi, rekontruksi lemak, sifat fisika dan kimia, dan tujuan tujuan lainya.

14)      Break Test
Merupakan analisa untuk mengetahui adakah reaksi oksidasi dalam suatu sampel. Analisa ini bertujuan untuk mengkontrol bahwasanya proses degumming secara baik dan efektif dilakukan. Tahapan dalam analisa ini adalah dengan menambahkan sampel dengan asam fosfat kemudian dipanaskan. Asam fosfat berfungsi untuk menggikat gum-gum fosfolipida dalam CPO. Setelah dipanaskan akan terbentuk dua lapisan. Lapisan atas berupa lapisan polar dan lapiasn bawah lapisan nonpolar. Untuk mendeteksi ada tidaknya gum gum yaiitu dengan terbentuk tidaknya cincin hitam. Cincin hitsm ini menandakan bahwa adanya gum fosfolipida yang terkandung dalam sampel yang terikat oleh asam fosfat. Adanya cincin hitam ini menandakan bahwa proses degumming tidak bekerja dengan baik.